Fingerprint Test, Keilmiahan dan Tulisan ‘Sidik Jari’ Prof Sarlito

Oleh: Audifax
(Bergiat di SMART HRPD, Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB dan Pustaka Kushala)

tes_sidik_jari

Berdebat mengenai Fingerprint Test, sudah bukan hal baru lagi. Sudah sejak 2008 lalu, ketika saya dan Ratih Ibrahim memulai menggunakan alat ini untuk biro kami masing-masing, perdebatan sudah muncul. Argumen kontra umumnya mempersoalkan keilmiahan. Sebuah argumen yang sebenarnya umum dan sering digunakan bukan hanya dalam kasus Fingerprint, tapi juga hampir semua kasus yang berkaitan dengan ‘pemikiran baru’ atau ‘metode baru’.

Permasalahannya, kontra argumen yang mengatasnamakan keilmiahan itu sendiri sering dilontarkan secara tidak ilmiah. Salah satunya, yang kebetulan saya diminta menanggapi oleh Ellen Kristi, teman dari Semarang, adalah tulisan dari Profesor Sarlito berjudul ‘Sidik Jari’, yang di-share di Facebook dan dimuat di harian SINDO edisi 15 Mei 2011. Mengapa saya katakan argumen itu tidak ilmiah? Mari kita lihat satu demi satu.

Pertama soal klaim bahwa beliau telah melakukan pencarian jurnal dan tidak menemukan sama sekali. Klaim itu patut diragukan karena dengan mesin pencari Google saja bisa ditemukan banyak. Cuma ada dua kemungkinan, Prof Sarlito mencari di tempat yang memang tidak ada, atau klaim itu lebih merupakan dramatisasi padahal tidak dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Apalagi dengan tambahan bahwa telah menemukan 40.000 dan tidak ada satupun yang berhubungan, dari situ saja sudah tidak ilmiah kalau ada orang bisa membaca 40.000 jurnal dalam tempo hanya beberapa hari.

Saya sendiri mencoba memverifikasi dengan menggunakan mesin pencari Google, dengan kata kunci: dermatoglyphic, intelligence dan setting hanya mencari file pdf. Ada ribuan thread muncul, dan banyak di antaranya jurnal. Saya berikan beberapa yang terata:

  1. Association between Finger Patterns of Digit II and Intelligence Quotient Level in Adolescents. Mostaf Najafi, MD, (2009), Department of Psychiatry, Shahrekord University of Medical Sciences, Shahrekord, IR Iran.
  2. Quantitative Dermatoglyphic Analysis in Persons with Superior Intelligence. M. Cezarik, dkk, 1996
  3. Application and Development of Palmprint Research, Yunyu Zhou, dkk, (2001)
    4. Analysis of dermatoglyphic signs for definition psychic functional state of human’s organism, Anatoly Bikh,dkk
    5. Determining The Association Between Dermatoglyphics And Schizophrenia By Using Fingerprint Asymmetry Measures; Jen-Feng Wang, dkk.
    6. Quantifying the Dermatoglyphic Growth Patterns in Children through Adolescence; J.K. Schneider, Ph.D.

Sebelum ini saya juga sudah memiliki sejumlah referensi dari jurnal, ini beberapa di antaranya:

CHINA SPORT SCIENCE AND TECHNOLOGY》 1999-02
The Feasible Study on Identification of Children’s Intelligent by Dermatoglyphic Pattern
Liu Hongzhen, Zhang Huaichun, Li Ziqin, Tang Xiaohui
The aim of this study is to explore the feasibility of early intelligent identification by dermatoglyphic pattern. Intelligent of 723 subjects (aged 8~13) were tested with a revision of Renee’s Penetration Measure by Lidan and their dermatoglyphic were collected. The relationship between intelligent and parameters of dermatoglyphic pattern was investigated by multiple linear regression analysis. The results indicate that intelligent is correlated with the double loop whorl, radial, simple creese hand, the third and fourth interdigital area pattern I3 and I4. The regression equations for predicting intelligent and radial, intelligent and I3, intelligent and I4 were calculated according to above results.
Key Words intelligent∥dermatography∥athlete selection∥multiple linear regression
Personality and Individual Differences
Volume 30, Issue 4, March 2001, Pages 579-586
Cognitive pattern and dermatoglyphic asymmetry
Doreen Kimura, and Paul G. Clarke
Department of Psychology, Simon Fraser University, 8888 University Drive, Burnaby, British Columbia, Canada, V5A 1S6
Received 1 October 1999;
revised 20 February 2000;
accepted 15 March 2000.
Available online 31 January 2001.
Abstract
Right-handed subjects were classified by the number of ridges on left and right fingertips as left-higher (L>) or right-higher (R>). As in previous studies, L> subjects of both sexes scored higher than R> subjects on tasks typically favouring females (feminine tasks). However, masculine characterization of tests did not relate consistently to direction of dermatoglyphic asymmetry. Instead, two verbally-presented reasoning tasks (inferences, math aptitude) were advantaged in R> subjects compared to L>. Since fingerprints are formed by the fourth fetal month, the data support suggestions that significant components of our cognitive pattern are programmed very early in life.
Author Keywords: Cognitive; Asymmetry; Sex differences; Dermatoglyphics; Fingerprints
Chinese Journal of Anatomy》 2002-01
Research on dermal ridge in students with high intelligence
LUO Tong Xiu,XU Ming Zong,LI Shi Wang,ZHOU Xiang,OUYANG Chi,ZHOU Xin Lian (Chenzhou Medical College,Chenzhou 423000)
Objective:To study the dermal ridge of students in class of science and technology,to know the character of dermal ridge in top intelligent persons.Methods:Printed the dermal ridge with printing oil and observed them with magnifying glass,compared the differences of the fingerprints and frequencies of the ridge patterns of palms of the hands (foots) between the students with high in intelligence and the students in contrast group.Results:In the class of science and technology,the frequency of finger end were 52.7%,out loops were 52.8% and the whorls were 27.5% in the hallucal areas,and TFRC were 149.2 lines.Those statistics were higher than that of contrast group.But the archs frequencies of fringer end and the hallucal areas was lower than contrast group.Conclusion:It proves once again that dermal ridge and intelligence is related.The results may help to select the excellent personnel.
Key Words】: top intelligent persons dermal ridge anthropometry
Chinese Journal of Anatomy》 2007-01
Dermatoglyph features of highly intelligent population
Zhang Limin1, Yang Zhanjun2, Chen Haihui1, Zhu Lihua1 (1 Department of Histology and Embryology, 2 Department of Anatomy, Chengde Medical College, Chengde 067000, China)
Objective: To explore the tegumental features of the highly intelligent population. Methods: Totally 856 Han Chinese were included in this study (104: IQ110; 752: IQ90~109). Twenty five indexes, including fingerprint, palm print and IQ, were analyzed and compared with related documents.Results: There was significant difference in 10 indexes between 2 groups. After integrated analysis, we proposed that 4 parameters (Wde, Wcz, Lus, PTC) could be the biological parameters for judging the intelligence, and we also provided the normal value of each parameter.Conclusion: This study provides a convenient and easy screening method for discovering highly intelligent children at an early stage.
Key Words】: intelligence quotient fingerprint palm print giftedness

Begitu banyak yang bisa ditemukan. Itu semua membuat saya makin tidak percaya bahwa Prof Sarlito benar-benar mencari jurnal atau penelitian terkait. Justru aneh kalau ada sebanyak itu jurnal, tapi seorang profesor tidak mampu menemukannya satu pun.

Ini pelajaran penting dalam membuat sebuah argumen ilmiah yang tidak banyak orang psikologi mampu melakukannya. Alasan-alasan semacam: tidak nemu jurnalnya, sudah kuno, sudah mulai ditinggalkan, dan sejenisnya, itu semua bukan sebuah argumen ilmiah. Membuat sebuah argumen ilmiah, carilah argumen yang diberikan oleh para teoritisi dermatoglyphic (fingerprint). Pelajari tesis-tesisnya, lalu buat antitesisnya. Teori vs teori. Data vs data. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan, khususnya psikologi dalam konteks ini, akan berkembang semakin luas dan bermanfaat.

Bukankah Prof Sarlito sendiri menulis: “…setelah memasukkan kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini.” Kenapa sebagai seorang profesor anda tidak kutip saja salah satu tesis ilmiah mereka dan berikan antitesis ilmiahnya? Bukankah semestinya di situ keilmiahan seorang profesor ditunjukkan? Bukannya malah melantur kesana kemari mulai soal ibu-ibu yang ongkang-ongkang sampai soal Densus88.

Coba Prof Sarlito membaca model-model perdebatan ilmiah, misalnya perdebatan Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung, perdebatan Paul Ricour dan Algirdas Greimas, dst. Mereka berdebat fokus pada masing-masing tesis, bukan kemana-mana. Premis-premis mereka pun jelas, bukan muncul dari dasar laut seperti tulisan Prof Sarlito ini:

Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.

Di sini jelas bahwa premis utamanya saja Prof Sarlito tidak menguasai, kok berani-beraninya membuat kesimpulan? Apakah mengenali potensi anak sama dengan memastikan arah hidup si anak? Tentu saja ini hal yang berbeda. Ini logika mendasar tapi tidak dipahami Prof Sarlito.

Mengenali potensi anak, hanya berfungsi membantu anak untuk mengembangkan potensinya, sekaligus mengatasi kelemahannya. Dan dalam hal ini, fungsinya sama saja dengan semua bentuk lain dari tes dan diagnosa psikologi, yaitu sifatnya hanya membantu. Di luar apa yang telah dipetakan, kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan jelas masih ada.

Di sinilah perlunya memahami logika dasar bahwa tes Fingerprint, tujuannya adalah memetakan dan sama seperti ilmu pengetahuan lain, sebuah pemetaan atau prediksi saintifik hanya berlaku ketika memenuhi hukum ceteris paribus.

Ketidakpahaman Prof Sarlito mengenai ilmu pengetahuan dan logika, juga nampak pada kutipan berikut:

Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.

Saya semakin heran dengan keprofesoran Sarlito ketika membaca kalimat:

“Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.”

Jadi, kalau suatu ilmu berada di luar komunitas ilmu psikologi lalu disimpulkan sebagai pseudo-science dari psikologi? Wah, betapa arogan ‘komunitas’ macam itu. Dan, dari cara memverifikasi berdasarkan cara semacam itu saja Prof Sarlito sudah tidak ilmiah. Apa Prof Sarlito tidak menyadari bahwa banyak orang di luar komunitas psikologi mampu memelajari secara lebih mendalam soal psikologi ketimbang orang-orang dalam komunitas psikologi?

Sebagai profesor, semestinya Prof Sarlito menyadari bahwa pengujian suatu ilmu bukan berdasarkan suatu komunitas, melainkan dengan menguji bangunan ontologi, epistemologi dan aksiologi/metodologi-nya. Ini satu hal mendasar lagi yang tidak terlihat dari cara Prof Sarlito menuliskan mengenai Fingerprint.

Lalu ketika Prof Sarlito menuliskan:

“Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa diverifikasi teorinya.”

Saya sebenarnya penasaran, Prof Sarlito ini tahu apa enggak mengenai ‘verifikasi’. Dugaan saya, beliau tidak mengetahui alasannya. (Saya menantang siapapun juga yang membaca ini untuk menjelaskan alasan mengapa keilmiahan perlu ‘verifikasi’ dan verifikasi macam apa). Darimana saya menduga kalau beliau tidak tahu? Pertama dari tidak adanya alasan jelas mengapa harus ada verifikasi.

Kedua, dari tulisan selanjutnya:

Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).

Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hubungannya antara sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor bawaan.

Prof Sarlito membaca dari literatur astrologi mana yang menyatakan manusia berbintang Leo sifatnya galak? Itu benar ada atau cuma kira-kira Prof Sarlito? Tidak jelas. Di sini kembali terlihat logika yang premisnya muncul dari dasar laut. Itu menunjukkan argumen itu disusun asal ngomong, bukan karena benar-benar tahu apa yang diomongkan.

Dan penilaian Prof Sarlito disini pun seolah dia sterilkan dari verifikasi. Bagaimana memverifikasi bahwa memang belum pernah ada penelitian yang mengkaji hubungan astrologi dan kepribadian? Ini saya buktikan kalau logika Prof Sarlito muncul dari dasar laut. Ternyata ada kok peneliti dari University of Georgia, yang meneliti hubungan antara astrologi dengan personality traits dan menemukan hubungannya:

Hyokjin Kwak; Astrology: Its Influence On Consumers’ Buying Patterns And Consumers’ Evaluations Of Products And Services, link: http://www.terry.uga.edu/~ajaju/papers/AMS2000.pdf

Begitu juga komentar Prof Sarlito mengenai Sidik Jari dalam kutipan di atas, tidak bisa diverifikasi darimana asalnya. Bahkan, terlihat bahwa Prof Sarlito tidak menguasai dengan benar premis yang mendasari, walau dalam tulisannya mengutip pemikiran Sir Francis Galton dan sejumlah pemikir lain yang mengembangkan telaah sidik jari.

Saya sependapat dengan komentar Nuruddin Asyhadie di FB mengenai tulisan Sidik Jari, bahwa dengan apa yang Prof Sarlito lakukan sekarang (keterlibatannya dalam riset psikologi dan psikologi kriminal), dan reputasinya sebagai psikolog, kukira seharusnya Prof Sarlito tahu dengan baik posisi wacana fingerprint atau dermatoglip dengan psikologi sejak penyelidikan Galton, Bapak Psikometri, mengenai ras dan kecerdasan dengan fingerprint, sampai penggunaan korelasi NGF (Nerve Growth Factor) dan EGF (Epidermal Growth Factor) yang ditemukan oleh Rita Levi dan Dr. Stanley Cohen, yang membuat keduanya meraih nobel.

Keprofesoran Sarlito seharusnya ditunjukkan dengan membuat antitesis dari sejarah panjang tersebut. Itu baru kita bisa bicara ilmiah dan tidak ilmiah.

Tradisi semacam inilah yang perlu dikembangkan dalam psikologi di Indonesia, sehingga komentar-komentar yang mengatasnamakan keilmiahan, alih-alih ilmiah justru nampak genit dan reaktif. Perlu disadari juga bahwa sebuah tulisan kritis, bukan berarti bisa mensterilkan dirinya dari kekritisan.
Ada sebuah kritikan menarik dari Karl Raimund Popper, tokoh pospositivis, yang mengkritisi Vienna Circle dan cara berpikirnya. Popper mengatakan bahwa, pengetahuan selayaknya bukan mempertahankan (memverifikasi) yang sebelumnya sudah dianggap ilmiah, namun juga memfalsifikasi. Artinya, suatu pengujian justru harus dilakukan untuk melihat kemungkinan apa yang selama ini dipercayai benar ternyata mungkin saja salah, dan sebaliknya, yang dianggap salah justru mungkin menjadi benar.

Popper mengambil perumpamaan, bahwa untuk menggugurkan tesis bahwa semua angsa adalah putih, cukup diperlukan satu angsa hitam. Maka itu, janganlah membuat pernyataan: ‘Tidak ada angsa berwarna hitam’, melainkan ‘Belum ada angsa berwarna hitam’. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan akan selalu terbuka akan hal-hal baru dan bukan semata memertahankan hal-hal lama.

Saya merasa perlu menuliskan ini, selain memenuhi ajakan menanggapi dari Ellen Kristi, juga karena melihat bahwa perdebatan mengenai fingerprint ini, nampaknya sama sekali tidak ilmiah karena banyaknya orang yang mendebat dengan model seperti Prof Sarlito, yaitu tanpa menguasai premisnya dengan baik, dan bicara mengatasnamakan ilmiah tapi tidak ada argumen ilmiahnya. Ini membuat, perdebatan mengenai fingerprint tidak pernah sampai ke ranah ilmiah.

Silahkan anda kuasai dulu apa itu ilmiah, baru kita bicara keilmiahan. (*)

tes sidik jari

Tentang jonru Ginting
- Content writer - Social Media Activist - Penulis buku "Saya Tobat!" dan beberapa buku lainnya - Pendiri DapurBuku.com (layanan self publishing) - Pendiri Jonru Media Center

5 Responses to Fingerprint Test, Keilmiahan dan Tulisan ‘Sidik Jari’ Prof Sarlito

  1. Reblogged this on Jonru Ginting and commented:

    Satu lagi, tanggapan untuk Prof Sarlito mengenai tes sidik jari. Semoga bermanfaat 🙂

    Suka

  2. Jadi penasaran sama metode sidik jari ini. Di Gramedia ada nggak buku-buku yang membahas tentang metode ini, pak?

    Suka

Tinggalkan komentar