[Cerpen] Pak Lurah Ganteng Memberantas Monyet

monyet pembawa sial

[Cerpen] Pak Lurah Ganteng Memberantas Monyet

Oleh: Jonru

Pak Lurah di kampung saya aneh sekali orangnya. Banyak orang bilang dia ganteng. Jauh lebih ganteng dibanding Al Ghazali Kohler. Tapi entah kenapa, menurutku dia justru sangat jelek. Wajahnya keriput, bibirnya monyong, giginya maju, telinganya terlalu lebar, lehernya panjang seperti jerapah, hidungnya juga panjang dan terlalu mancung seperti Pinokio ketika sedang berbohong.

Di mana letak gantengnya? Gimana ceritanya, kok orang-orang menyebut dirinya jauh lebih ganteng ketimbang anaknya Ahmad Dhani yang masih brondong itu?

Padahal usia Pak Lurah saat ini sudah 50 tahun. Dia seperti datang dari negeri antah-berantah, tak jelas asal-usulnya, tapi tiba-tiba sudah menjabat sebagai lurah di kampung kami. Tubuhnya memang atletis, rambutnya cepak seperti gaya militer, padahal ia orang sipil. Gaya bicaranya biasa-biasa saja.

Pak Lurah sudah menjabat di kampung kami selama dua tahun. Belum terlalu lama, sih. Tapi selama dua tahun itu banyak hal aneh mengenai dirinya. Mulai dari wajahnya yang sangat jelek, tapi banyak orang yang menyebutnya super ganteng, hingga hobi buruknya main gaple sampai tengah malam, tapi para warga justru memuji itu sebagai sikap seorang pemimpin yang sangat merakyat.

Yang juga aneh adalah hobi Pak Lurah menghukum orang-orang yang menyebut dirinya jelek. Bukan hanya dirinya. Bahkan para algojonya – baik yang digaji maupun yang sukarela – siap stand by dua puluh empat jam sehari untuk menggebuk siapa saja yang berani menyebut Pak Lurah jelek.

Pernah ada warga bernama Dodo yang berkata, “Pak Lurah ganteng, kok. Lebih ganteng dibanding Tukul Arwana.” Besoknya Dodo langsung almarhum dan dikubur di pemakaman pinggir kota dekat sungai yang penuh sampah busuk.

Ada juga warga bernama Didi yang berkata dengan sangat blak-blakan, “Di mana sih letak gantengnya Pak Lurah itu? Masa jelek banget gitu dibilang ganteng? Anda ini rabun ayam atau gimana?”

Besoknya, tubuh Didi sudah terkapar tak bernyawa di sekolah dasar dekat rumah sakit milik pemda setempat.

Pokoknya, tak ada yang berani menyebut Pak Lurah jelek. Dia harus selalu dipuji-puji sebagai pria terganteng sejagat raya. Bahkan Nabi Yusuf pun mungkin harus disebut kalah ganteng dibanding dirinya.

Tapi baiklah, soal kegantengan tak terlalu penting dibahas. Yang ingin saya ceritakan adalah salah satu perilaku Pak Lurah yang menurut saya super duper aneh bin ajaib; Dia benci sekali pada monyet.

“Pokoknya,” ujarnya suatu malam pada acara rapat pengurus kelurahan, “Saya tidak ingin ada satu ekor monyet pun berkeliaran di kampung ini.”

“Tapi Pak Lurah…”

“Tak ada tapi-tapian!!!”

“Boleh kami tahu apa alasannya?”

“Karena monyet itu jelek.”

“Bukankah kita masih keturunan monyet?”

“Kamu aja kelles yang keturunan monyet. Eikke sih kagak!” tiba-tiba gaya bicara Pak Lurah seperti bences.

“Tapi kambing juga jelek. Kenapa Pak Lurah tidak membenci kambing?”

“Karena kambing banyak manfaatnya. Antara lain sebagai kambing hitam.”

“Tapi monyet juga banyak manfaatnya, Pak Lurah.”

“Tapi monyet jelek!”

“Tapi kambing juga jelek.”

“Tapi kambing banyak manfaatnya.”

“Tapi monyet juga ada manfaatnya.”

“Tapi monyet jelek!”

“Tapi….”

Begitulah perdebatan malam itu, muter-muter ke situ-situ saja. Tak ada ujungnya. Tak bakal habis jika semuanya ngotot.

Maka, para pengurus kelurahan memutuskan untuk mengalah. Soalnya mereka sudah pada ngantuk, rindu pada dekapan hangat sang istri yang sudah menanti di rumah masing-masing.

Pak Lurah pun tampil sebagai pemenang. Dia mengumumkan sebuah peraturan baru, “Seluruh monyet di kelurahan ini harus dimusnahkan. Dibunuh lalu dibuang. Kalau tak bisa dibunuh, usir saja ke kampung sebelah.”

“Bagaimana kalau dibunuh lalu dimakan, Pak Lurah?”

“Tak boleh!”

“Kenapa?”

“Karena monyet itu jelek!”

“Bukankah enak tidaknya daging hewan tak ada hubungan dengan jelek tidaknya mukanya?”

“Kamu mau mendebat saya?!”

“Hehehe… tidak, Pak Lurah. Monggo, silahkan dilanjut.”

Maka sejak saat itu, seluruh monyet di kampung kami pun diberantas. Ada yang diusir ke kampung sebelah, ada yang dibunuh dengan sangat sadis. Bahkan hutan cagar alam yang banyak dihuhi oleh monyet pun, terpaksa dibakar agar bisa membunuh ribuan monyet yang hidup di sana dengan cara praktis, cepat dan tidak repot.

Menurut saya, ini peristiwa yang sangat tragis, buruk, tidak berperikebinatangan. Jika para pencinta hewan mengendus informasi ini, mereka pasti marah besar dan berkoar-koar di harian Daily Pet.

Tapi anehnya, para pendukung Pak Lurah sangat pintar membolak-balik fakta. Mungkin dulunya mereka tukang martabak semua.

Para jurnalis mereka menulis berita demi berita yang memberi kesan bahwa monyet adalah binatang yang sangat menjijikkan, pembawa sial, norak, kampungan, najis tralala, najong marojong, dan seterusnya dan seterusnya.

Para seniman mereka membuat film, cerpen, novel dan sinetron yang menampilkan tokoh monyet yang jahat plus bejat plus bajingan dan pecundang kelas super. Intinya, setiap cerita fiksi yang mereka buat, yang di dalamnya ada tokoh monyet, pasti monyetnya memerankan tokoh antagonis. Bahkan seperti ada kesepakatan bersama di antara mereka, bahwa monyet pada cerita fiksi tak boleh menjadi tokoh protagonis. Haram hukumnya.

Dengan cara seperti itu, tanpa sadar para warga seperti tercuci otak mereka. Kini mereka semua sangat percaya bahwa sungguh sangat wajar jika Pak Lurah memberantas para monyet dari muka bumi eh…kampung kami tercinta.

Dan dalam waktu super singkat, kampung kami sudah bebas seratus persen dari kera, simpanse, monkey, dan teman-temannya.

Sebagian warga yang otak mereka belum berhasil tercuci dengan sempurna, merasa heran, kenapa Pak Lurah terlihat sangat benci dan anti terhadap monyet. Ada apakah gerangan?

Tak ada yang tahu jawabannya. Mereka hanya bisa menduga-duga.

“Mungkin karena monyet hobi makan pisang?

“Apa hubungannya?”

“Pisang kan buah favorit warga kampung sini. Kalau di sini banyak monyet, kita bersaing dong dengan mereka, dalam mendapatkan pisang.”

“Bisa juga, tapi alasan itu kurang logis.”

“Kenapa?”

“Karena selama ini sudah ada peraturan mengenai pembagian jatah pisang antara monyet dengan manusia.”

“O, gitu. Lantas apa, dong?”

“Mungkin karena monyet punya ekor?”

“Kucing juga punya ekor.”

“Tapi monyet kan jelek.”

“Hihihi… kamu mulai ketularan gaya Pak Lurah, deh.”

“Hehehe….”

“Jadi apa dong alasannya? Ada apa di balik semua keanehan ini?”

Kami diam membisu, terpekur, terpaku, menikmati sepi.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar rumah. Sangat berisik, membuat kami tersentak lalu buru-buru bangkit, membuka pintu depan, melayangkan tatapan ke seluruh penjuru pandangan.

“Ada apa ini?”

“Pak Lurah ngamuk!”

“Ngamuk? Kenapa?”

“Saya juga tak tahu kenapa. Tiba-tiba saja dia terlihat sangat gusar. Saya tak pernah melihat beliau segusar itu. Biasanya kalau marah pun, Pak Lurah tetap bisa bersikap stay cool, kan?”

“Betul.”

“Tapi tadi gusar dan marahnya seperti orang kesurupan. Dia berteriak-teriak dengan sangat kencang, ‘Hilang semuanya! Hilang semuanya! Kursi! Kursi!’ Suaranya meracau, kacau balau, bikin bingung semua orang.”

“Kok dia bisa bertingkah aneh seperti itu?”

“Saya juga tak tahu. Tadi sebelum beliau ngamuk, memang ada seekor monyet yang….”

Orang tersebut belum selesai bicara, tapi tiba-tiba tubuhnya langsung terpakar, dan ia tewas seketika.

Jakarta, 22 Oktober 2014
Jonru
Follow me @jonru @jonruginting

Tentang jonru Ginting
- Content writer - Social Media Activist - Penulis buku "Saya Tobat!" dan beberapa buku lainnya - Pendiri DapurBuku.com (layanan self publishing) - Pendiri Jonru Media Center

4 Responses to [Cerpen] Pak Lurah Ganteng Memberantas Monyet

  1. raaifa2 says:

    Haha.. mantab bang! selesai baca saya langsung ngakak 😀

    Disukai oleh 1 orang

  2. Bimo Bungkus says:

    Gagal paham ane

    Disukai oleh 1 orang

  3. prixl says:

    wah menarik sekali tulisanya..
    semoga menginspirasi generasi muda..

    Disukai oleh 1 orang

  4. Pak Jonru…. ada-ada saja. Mantap ……

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar