Tentang Jonru, Amien Rais, PAN, dan PKS

jonru_amien_rais_pan_pks

Foto-foto ketika saya bertemu dengan pak Amien Rais dan ustadz Anis Matta di kediaman Pak Prabowo, tanggal 29 Oktober 2014.

Bagi saya, Amien Rais adalah sebuah nama yang sangat bersejarah. Kenapa? Begini ceritanya.

Saya termasuk orang yang DULU menjadi “korban” doktrin Orde Baru. Saya anti politik, karena menurut Orde Baru politik itu berbahaya. “Gimana kalau kita nanti ikut parpol yang akhirnya dilarang oleh pemerintah, seperti PKI? Masa depan kita bisa hancur! Cari kerja aja susah!”

Ya, hingga awal tahun 1998 saya termasuk orang yang takut berpolitik!

Saat masuk kuliah tahun 1991, saya langsung bergabung dengan EDENTS, pers kampus di Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Alasannya, karena saya ingin jadi penulis. Cita-cita yang hingga tamat SMA belum pernah kesampaian.

Saya penuh semangat bergabung dengan EDENTS, karena saya berharap lembaga inilah yang akan menjadi sarana saya untuk menempa diri menjadi penulis (belakangan, saya juga gabung dengan MANUNGGAL, pers kampus tingkat universitas).

Ternyata, apa yang saya dapatkan di EDENTS bukan hanya ilmu kepenulisan dan jurnalistik. Saya juga banyak belajar tentang agama, hikmah kehidupan, juga POLITIK. Sejak bergaul dengan teman-teman di EDENTS, saya jadi paham seperti apa politik yang sebenarnya.

EDENTS dikelola oleh teman-teman HMI. Boleh dikatakan hampir semua pengurus dan anggotanya adalah orang HMI. Tapi sejak gabung hingga keluar dari sana, saya TAK PERNAH bergabung dengan HMI.

Kenapa?

Selain karena saya masih belum berani terjun ke politik, juga karena saya terpengaruh oleh ucapan salah seorang kerabat di masa lalu, “HMI ingin mendirikan negara Islam. Kamu jangan gabung di sana!”

Belakangan saya tahu bahwa ucapan si kerabat ini keliru. Saya tidak melihat ada tanda-tanda HMI ingin mendirikan negara Islam.

Tahun 1998, kita semua tahu bahwa itulah awal Orde Reformasi dan tumbangnya Orde Baru. Saat itulah saya “jatuh cinta” pada Pak Amien Rais, sang Bapak Reformasi. Saya keitka itu bertekad, “Jika Pak Amien mendirikan partai, saya akan gabung di partainya.”

Saya ketika itu sudah “sembuh” dari penyakit “takut berpolitik”. Dan ketika Pak Amien Rais mendirikan PAN, saya pun segera gabung.

Secara organisasi, saat itu saya HANYA gabung di Barisan Muda PAN Kotamadya Semarang. Selama sekitar setahun saya aktif di sana.

Awal 2000, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta, dan BMPAN Semarang pun saya tinggalkan. Teman-teman di Jakarta mengajak saya gabung dengan BMPAN Pusat. Waktu itu kantornya di daerah Tebet.

Beberapa waktu kemudian, ada beberapa hal yang menyebabkan saya mundur dari PAN. Dan peristiwa pergantian Presiden Partai Keadilan (PK) dari Nurmahmudi Ismail ke Hidayat Nur Wahid membuat saya memikirkan sesuatu.

Saya melihat bagaimana pergantian kepemimpinan di PK berlangsung sangat aman, tenteram, damai. Sama sekali tak ada gontok-gontokan, tak ada yang kecewa lalu membuat partai tandingan. Saya melihat bagaimana para pemimpin PK memandang jabatan bukan sebagai tujuan, tapi sebagai amanah untuk menjalankan tugas seorang muslim, yakni ibadah dan dakwah.

Berpikir seperti itu, membuat saya jatuh cinta pada PK. Namun saya tidak langsung bergabung karena belum tahu caranya.

Pertengahan tahun 2003, saya melamar seorang gadis – yang kini menjadi istri saya – bernama Yuli. Saat itu dia mengajukan syarat, “Saya mau menikah denganmu, jika kamu ikut tarbiyah.”

Sebenarnya, sudah sejak tahun 2002 saya ingin ikut pengajian atau tarbiyah, tapi belum tahu pengajian mana yang harus saya ikuti, dan bagaimana caranya. Sebab saat itu saya masih sangat awam. Dan pengajuan syarat dari (calon) istri tersebut membuat saya makin bersemangat untuk mencari pengajian yang tepat.

Dan itulah awal keterlibatan saya di jamaah tarbiyah. Saya bergabung tepat tanggal 13 April 2003, saat partai ini ganti nama dari PK menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Acara deklarasinya berlangsung di Monas. Saya hadir ketika itu, bersama teman-teman dari DPRa Slipi, Jakarta Barat, karena saat itu saya masih kos di sana.

Jadi boleh dibilang, usia keikutsertaan saya di PKS sama dengan usia PKS itu sendiri. Sebab saya bergabung dengan PKS tepat tanggal 13 April 2003, saat nama PKS dideklarasikan di Monas, menggantikan nama Partai Keadilan.

Hari ini, sudah hampir 12 tahun saya bergabung dengan PKS. Jika di partai lain, saya mungkin sudah menjadi anggota DPR RI atau menduduki jabatan penting di tingkat pusat. Bahkan mungkin pula jadi menteri, hehehe… 🙂

Tapi inilah yang membuat saya makin cinta pada PKS. Semua kader yang saya kenal di sini adalah orang-orang yang tak pernah mengejar jabatan, karena mereka tahu jabatan itu amanah yang sangat berat. Jika ada yang ditunjuk jadi pemimpin, mereka malah menunjuk orang lain. Hanya jika ada amanah untuk jadi pemimpin untuk tujuan dakwah, barulah mereka terima.

Dengan konsep seperti itulah, saya makin bahagia, tak pernah mempermasalahkan ketika saya selama 12 tahun di PKS hanya menjadi kader biasa tingkat kelurahan (DPRa), tak punya jabatan apapun. Bagi saya (juga bagi para kader PKS lainnya yang umumnya militan), tujuan kita di PKS adalah untuk belajar Islam, beribadah dan berdakwah. BUKAN untuk mengejar jabatan.

Itulah sebabnya saya merasa SANGAT GELI ketika banyak orang yang menggosipkan saya hendak nyaleg tahun 2019. Hehehehe…..

Kalau saya memang niat nyaleg, dulu ketika di PAN saya punya peluang ke arah sana. Tapi saya justru pindah ke PKS, dan selama 12 tahun hanya jadi kader biasa tingkat kelurahan.

Andai saya kecewa pada PKS (karena tak pernah dapat jabatan apapun), pasti sejak lama saya sudah pindah ke partai lain. Tapi hingga saat ini saya masih bahagia dan senang bergabung dengan PKS. Ini membuktikan bahwa saya bukan tipe orang pengejar jabatan.

Sekadar Info:

Ketika PKS mendukung SBY jadi capres, saya waktu itu mendukung JK. Ketika dulu PKS pernah mendukung kenaikan harga BBM, saya memutuskan untuk menjauh dari PKS, karena merasa kecewa, kok PKS berkeputusan seperti itu.

Namun sejak muncul kasus LHI, saya memutuskan untuk kembali bergabung dan ikut membela PKS, karena saya melihat banyak kejanggalan pada kasus tersebut.

Itulah bukti bahwa saya tidak membela PKS mati-matian. Saya tidak cinta buta pada PKS.

Artikel Terkait:

Teman-teman bisa membaca artikel saya lainnya mengenai PKS di:

Mengapa Saya Membela PKS?

Pengakuan: PKS Telah Mencuci Otak Saya!

* * *

Seperti itulah gambaran singkat perjalanan kehidupan politik saya. Walau saya sudah tidak gabung dengan PAN, namun hingga hari ini saya masih sangat menghormati Pak Amien Rais sebagai orang yang pertama kali membuat saya BERANI berpolitik. Bagi saya pribadi, beliau adalah tokoh yang sangat bersejarah, legendaris, tak terlupakan.

Saya bersyukur karena hari ini PAN dan PKS bergabung dan bersatu dalam Koalisi Merah Putih. Saya sangat berharap, semoga kemesraan ini bisa terus berlanjut. Bukan hanya antara PKS dan PAN, tapi juga dengan semua partai dan ormas islam lainnya. Sebab jika Islam bersatu, maka yang namanya kejayaan Islam akan dengan mudah terwujud.

Allahu Akbar!

Jakarta, 31 Oktober 2014
Jonru
Follow me:
– Twitter: @jonru
– Instagram: @jonruginting

Tentang jonru Ginting
- Content writer - Social Media Activist - Penulis buku "Saya Tobat!" dan beberapa buku lainnya - Pendiri DapurBuku.com (layanan self publishing) - Pendiri Jonru Media Center

One Response to Tentang Jonru, Amien Rais, PAN, dan PKS

  1. semoga semua kader PKS selalu dirahmati oleh-Nya,,,,aamiin.
    izin share Ustadz…

    Suka

Tinggalkan komentar